Jumat, 02 Januari 2009

MKK 4401 Pengantar Pendidikan (3 sks/semester I)

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.


KOMPONEN–KOMPONEN KURIKULUM PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

Pembicaraan seputar Islam dan pendidikan tetap menarik, terutama terkait dengan upaya membangunsumber daya manusia muslim. Dan sebagaimana dimaklumi bahwa dalam Islam belum terdapat rumusan tentang sistem pendidikan yang baku, melainkan hanya terdapat nilai-nilai moral dan etis yang seharusnya mewarisi sistem pendidikan tersebut. Sebagai contoh, nilai-nilai tersebut terlihat dalam ayat al Qur’an yang pertama kali turun, yaitu ayat 1 s.d. 5 surat al ‘Alaq:

إقرأ باسم ربّك الذى خلق. خلق اللإ نسان من علق. إقرأ وربّك الأكرم. الذى علّم بالقلم. علّم اللإنسان مالم يعلم (العلق: 1-5)

Artinya: “Bacalah dengan (mnyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Pada ayat tersebut paling tidak terdapat 5 komponen pendidikan, yaitu guru (Allah), murid (Muhammad SAW), sarana dan prasarana (qalam), metode (iqra’), dan kurikulum.

Pendidikan jika dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan (Ghofir, 1993: 25), yang mana dinilai dan diyakini sebagai sesuatu yang paling ideal. Bagi Indonesia tujuan yang ideal itu dicapai melalui sebuah proses dan sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 (2003: 7) : Pendidikan nasional…bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan Islam sebagai sub sistem dari sistem pendidikan nasional yang mencita-citakan terwujudnya insan kamil atau orang Islam yang saleh ritual dan saleh sosial, secara implisit akan mencerminkan ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana yang digambarkan di atas (Fadjar, 1998: 30).

Akan tetapi kemudian realita di lapangan menunjukkan bahwa dunia pendidikan saat ini pada umumnya sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat yang antara lain bercorak ateistik, materialistik, dan skeptis. Sehingga kemudian yang terjadi adalah munculnya pola hidup yang bercorak materialistik, hedonistik, individualistik, pola hidup permissive, living together. Landasan filosofis pendidikan yang seperti ini harus segera diperbaiki agar sesuai dengan pandangan hidup Islami dan disesuaikan dengan nilai luhur budaya bangsa Indonesia (Abudin Nata, 2003: 179).

Sehingga sejalan dengan pandangan tersebut, bagaimana Islam sebagai ajaran yang universal dapat memberikan solusi bagi masalah-masalah nasional, terutama masalah pendidikan dengan berperan aktif dalam rangka membawa dan merawat perkembangan umat manusia.

Demikian strategisnya posisi dan peranan pendidikan, sehingga umat Islam senantiasa concern terhadap masalah tersebut. Sehingga banyak sekali bermunculan lembaga – lembaga pendidikan dengan berbagai macam program yang sampai hari ini masih berkibar, dalam rangka ikut serta mensukseskan pembangunan nsional di bidang pendidikan yang bermuara pada terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya.

Dalam rangka mencapai sebuah hasil yang dicita-citakan dalam dunia pendidikan yang dalam hal ini pendidikan Islam, perlu sebuah kejelasan konsep yang dikonstruksi dari sumber-sumber ajaran Islam, dengan tanpa meninggalkan rumusan para pakar pendidikan yang dianggap relevan yang kemudian konsep tersebut dituangkan dan dikembangkan dalam kurikulum pendidikan (Muhaimin, 1991: 10). Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu Lembaga Pendidikan Islam (Arifin, 2003: 77). Dengan kurikulum akan tergambar secara jelas secara berencana bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam pendidikan.

Kurikulum sebagai sebuah bangunan atau sistem, tidak bisa lepas dari berbagai komponen yang saling mendukung satu dengan lainnya. Dengan berbagai bagian tersebut akan menghasilkan sebuah bangunan dalam rangka mencapai sebuah titik akhir berupa tujuan yang dalam hal ini adalah tujuan pendidikan Islam.

KOMPONEN KURIKULUM PENDIDIKAN

Sebagaimana dimaklumi bahwa manusia atau binatang sebagai suatu organisme, memiliki susunan atau unsur-unsur anatomi tertentu, dimana yang satu dengan lainnya saling menopang. Demikian halnya dengan kurikulum pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai bagian yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan. Nana Syaodih Sukmadinata (2002: 102) mengidentifikasi unsur atau komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah : tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi, yang kempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya.

Lain halnya dengan Tohari Musnamar sebagaimana dikutip Muhaimin (1991: 11), telah mengidentifikasikan dan merinci komponen - komponen yang dipertimbangkan dalam rangka pengembangan kurikulum yaitu: dasar dan tujuan pendidikan, pendidik, materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, sistem evaluasi, peserta didik, proses pelaksanaan (belajar mengajar), tindak lanjut, organisasi kurikulum, bimbingan dan konseling, administrasi pendidikan, sarana dan prasarana, usaha pengembangan, biaya pendidikan, dan lingkungan. Sementara itu Hasan Langgulung (2002: 100)membagi unsur kurikulum menjadi empat yaitu: tujuan pendidikan, isi atau kandungan pendidikan, metode pengajaran, dan metode penilaian. Sedangkan Akhmad Sudrajat mengidentifikasi komponen kurikulum kepada lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi, dimana kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan.

Setelah melihat komponen kurikulum yang dikemukanan para pakar tersebut, sebenarnya menurut Muhaimin (1991: 11-12) kurikulum dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu : pertama kelompok komponen-komponen dasar, kedua kelompok komponen-komponen pelaksanaan, ketiga kelompok-kelompok pelaksana dan pendukung kurikulum, dan keempat kelompok komponen usaha-usaha pengembangan.

Dalam pelakasanaannya, suatu kurikulum harus mempunyai relevansi atau kesesuaian. Kesesuaian tersebut paling tidak mencakup dua hal pokok. Pertama relevansi antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi serta perkembangan masyarakat. Kedua relevansi antara komponen-komponen kurikulum.

Komponen Dasar Kurikulum

Kelompok komponen-komponen dasar pendidikan, mencakup konsep dasar dan tujuan pendidikan, prinsip-prinsip kurikulum yang dianut, pola organisasi kurikulum, kriteria keberhasilan pendidikan, orientasi pendidikan, dan sistem evaluasi.

1. Dasar dan Tujuan Pendidikan

Yang dimaksud sebagai konsep dasar dalam hal ini merupakan konsep dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Dengan adanya dasar, maka pendidikan Islam akan tegak berdiri dan tidak mudah diombang ambingkan oleh pengaruh luar yang mau merobohkan atau mempengaruhinya. Kerna fungsinya tersebut, maka yang menjadi dasar tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh masyarakat tertentu. Begitu pun dengan pendidikan Islam, maka pendidikan Islam mempunyai fundamen yang menjadi landasan tegak berdiri dalam prosesnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Berbicara dasar pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari aliran filsafat pendidikan yang mendasari pendidikan yang diantaranya adalah aliran progresivisme, aliran esensialisme, aliran perenialisme, dan aliran rekonstruksionalisme.

Aliran progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan seyogyanya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai tuntutan lingkungan. Essentialism menginginkan pendidikan yang bersendikan atas nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya yang sampai kepada manusia melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan bertugas sebagai perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang tinggi (Muhaimin, 2003: 41).

Sedangkan perenialism menghendaki pendidikan kembali pada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tatanan kehidupan yang ditentukan secara rasional. Dan rekonstruksionalism menginginkan pendidikan yang membangkitkan kemampuan peserta didik untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai dampak dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana bebas (Imam Barnadib, 1987: 26). Akan tetapi kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan, di antara empat aliran tersebut, mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar filosofis pendidikan Islam?

Yang jelas adalah bahwa konsep pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat. Pendidikan Islam dalam hal ini sangat memerlukan intervensi wahyu dalam menjawab masalah pendidikan. Sementara pendidikan Barat lebih menonjolkan dan mengagungkan rasio, lewat para pakarnya, tanpa konsultasi dengan wahyu (Muhaimin, 1991: 18).

Namun yang perlu dimengerti bahwa ketika pendidikan Islam dihadapkan pada problem dasar pendidikannya, maka menurut Naquib al Attas dan al Jamaly cenderung kearah progresivisme dan perenialisme/essensialisme (Muhaimin, 2003: 28). Sementara bagi Muhaimin dapat dikatakan bahwa konsep dasar filosofis pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm terobosan dan gagasan yang handal dalam rangka memnuhi tuntutan jaman. Tetapi kemudian tak dapat dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat peka dan sangat rentan. Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa esensi-esensi berupa nilai–nilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya (Muhaimin, 1991: 22-23).

Sementara itu tujuan pendidikan merupakan landasan bagi pemilihan materi serta strategi penyampaian materi terseburt. Tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen lainnya. Tujuan pendidikan harus berorientasi pada pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, antara lain: tujuan dan tugas hidup manusia, memperlihatkan sifat-sifat dasar (nature) manusia, tuntutan masyarakat, serta dimensi-dimensi kehiduapn ideal Islam (Fu’adi, 2003: 428-429). Dengan memperhatikan hakekat pendidikan Islam tersebut, akan didapatkan sebuah gambaran bagaimanakah seharusnya suatu suatu tujuan pendidikan dirumuskan, agar tujuan pendidikan benar-benar cocok untuk direalisasikan.

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Menurut Hummel, seperti dikutip Akhmad Sudrajat, tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.

2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.

3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.

Sementara itu, terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip Maksum pada dasarnya adalah tujuan hidup manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat dalam Q.S. al Dzariyat ayat 51 :

وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدون ( الذاريات : 51)

Artinya : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”.

Bagi Langgulung tugas pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia (Maksum, 1999: 45). Selain itu masih banyak para pakar yang memberikan rumusan tentang tujuan pendidikan Islam seperti: Imam al Ghazali, Alamsyah Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al Abrosyi, Abdurrahman Nahlawy, Moh. Said Ramdhan El Buthi, Zakiyah Daradjat, dan lainnya.

Namun dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa ditegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi tiga yaitu (1) dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup Islami (3) dimensi kemajuan yang peka terhadap perkebmangan IPTEK serta perubahan yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi individual dan dimensi sosial (Muhaimin, 1991: 30).

2. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam

Prinsip pendidikan Islam merupakan kaidah sebagai landasan supaya kurikulum pendidikan sesuai dengan harapan semua pihak. Dalam hal ini Winarno Suracmad sebagaimana dikutip Abdul Ghofir (1993: 31) mengemukakan prinsip kurikulum pendidikan yaitu relevansi, efektivitas, efisiensi, fleksibilits, dan kesinambungan. Nana Syaodih S. (2002: 150-151) menerangkan bahwa prinsip umum kurikulum adalah prinspi relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektifitas.

Sementara itu al Syaibani menyatakan bahwa prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam adalah : pertautan sempurna dengan agama, prinsip universal, keseimbangan antara tujuan dan isi kurikulum, keterkaitan dengan segala aspek pendidikan, mengakui adanya perbedaan (fleksibel), prinsip perkembangan dan perubahan yang selaras dengan kemaslahatan, dan prinsip pertautan antara semua elemen kurikulum (Muhaimin, 1991: 39-40).

3. Pola organisasi kurikulum pendidikan Islam

Organisasi kurikulum di sini merupakan kerangka umum program pendidikan yang akan disampaikan kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Beberapa jenis organisasi kurikulum tersebut antara lain subject curriculum merupakan kurikulum yang direncanakan berdasarkan disiplin akademik sebagai titik tolak mencapai ilmu pengetahuan (Abdul Manab, 1995: 24), correlated curriculum yang mencoba mengadakan integrasi dalam pengetahuan peserta didik, integrated curriculum yang mencoba menghilangkan batas-batas antara berbagai mata pelajaran, core curriculum dan lainnya.

Pada dasarnya semua pola organisasi tersebut baik, namun paling tidak dari yang baik tersebut bisa diambil yang paling baik. Yang jelas bahwa kurikulum pendidikan Islam harus integratif, atau setidak-tidaknya korelatif, yang tidak memisahkan antara ilmu pengetahuan dengan wawasan keagamaan.

Namun yang perlu dimengerti bahwa beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Dari pandangan tersebut, setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
  2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
  3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
  4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
  5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
  6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kalau ditinjau dalam perspektif madrasah/sekolah, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan

Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.

4. Orientasi Pendidikan

Orientasi pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka perumusan kurikulum pendidikan. Dengan orientasi pendidikan akan dapat diambil sebuah kebijakan dalam rangka memproduk out put pendidikan sesuai yang diinginkan. Dari berbagai pendapat tokoh pendidikan, dapat ditemukan beberapa orientasi pendidikan antara lain: berorientasi pada peserta didik, pada social-demend, pada tenaga kerja, berorientasi masa depan dan perkembangan IPTEK, dan berorientsai pada pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi.

5. Sistem Evaluasi Pendidikan Islam

Sistem evaluasi pendidikan dimaksudkan dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologis, didaktis, serta administrasi atau manajerial.

Dalam evaluasi pendidikan harus diperhatikan beberapa hal yaitu: bahwa evaluasi harus bermuara pada tujuan, dilaksanakan secara obyektif, komprehensif dan harus dilakukan secara kontinyu.

Menurut Muhaimin (1991: 87-88) ada satu ciri khas dari sistem evaluasi pendidikan yang Islami, yaitu self-evaluation disamping tetap adanya evaluasi kegiatan belajar peserta didik. Evaluasi semacam ini menjadi penting karena sebagai sosok social being dalam kenyataannya ia tak bisa hidup (lahir dan proses dibesarkan) tanpa bantuan orang lain.

Komponen Pelaksanaan

Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan pemanfaatan lingkungan.

1. Materi pendidikan

Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Sebagai perantara mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pendidikan. Materi pendidikan tersusun atas topik-topik dan sub topik tertentu.

Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi lembaga pendidikan pada umumnya, begitu pula Islam, sedangkan waktu yang tersedia terbatas. Sehingga dalam hal ini, menjadi penting menyeleksi materi pendidikan.

Dalam rangka memilih materi pendidikan, Hilda Taba mengemukakan beberapa kriteria diantaranya: (1) harus valid dan signifikan, (2) harus berpegang pada realitas sosial, (3) kedalam dan keluasannya harus seimbang, (4) menjangkau tujuan yang luas, (5) dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa, dan (6) harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat peserta didik (Ghofir, 1993: 37-38).

Islam dengan Al Qur’annya menurut Abdurrahman Saleh Abdullah dipandang sebagai landasan pendidikan Islam yang prinsipnya hendak menyatukan mata pelajaran yang bermacam-macam. Tidak ada klasifikasi mata pelajaran umum dan agama, dimana semua materi termasuk ilmu alam harus diajarkan menurut pandangan Islam.

Untuk mencapai materi pendidikan seperti yang diinginkan ini, paling tidak yang perlu diperhatikan dalam rangka pengembangannya adalah jenis materi, ruang lingkup materi, klasifikasi materi, sekuensi materi, serta sumber acuannya.

2. Sistem Penyampaian

Sistem penyampaian merupakan sistem atau strategi yang digunakan dalam menyampaikan materi pendidikan yang telah dirumuskan. Sistem penyampaian ini paling minim berkaitan dengan metode yang digunakan dalam menyampaikan materi, serta pendekatan pembelajaran. Ketika guru menyusun materi pendidikan, secara otomatis ia juga harus memikirkan strategi yang sesuai untuk menyajikan materi pendidikan tersebut.

Sementara itu Muhaimin (2003: 184) mengidentifikasi bahwa sistem pengampaian ini mencakup beberapa hal pokok, yaitu: strategi dan pendekatannya, metode pengajarannya, pengaturan kelas, serta pemanfaatan media pendidikan.

Metode misalnya, ia ikut menentukan efektif atau tidaknya proses pencapaian tujuan pendidikan. Semakin tepat metode yang digunakan, akan semakin efektif proses pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Sehingga dalam hal ini terlihat betapa pentingnya pengetahuan tentang metode bagi seorang guru. Bagi Ahmad Tafsir, pengetahuan tentang metode mengajar yang terpenting adalah pengetahuan tentang cara menyusun urutan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan (Tafsir, 1999: 34).

3. Proses belajar mengajar (pelaksanaan)

Proses pelaksanaan belajar mengajar dalam pendidikan Islam secara umum dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seorang peserta didik belajar selain kepada apa yang dipelajari. Sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antara peserta didik dengan guru, sesama peserta didik, dan peserta didik dengan lingkungannya.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan belajar mengajar antara lain adalah pola atau pendekatan belajar-mengajar yang digunakan, intensitas dan frekuensinya, model interaksi pendidik-peserta didik , dan / atau antar peserta didik di dalam dan di luar kegiatan belajar mengajar, serta pengelolaan kelas, serta penciptaan suasana betah di sekolah.

4. Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar

Dalam pendidikan Islam, sangat diperlukan adanya pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Lingkungan tersebut bisa lingkungan sekolah maupun luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Kalau di lingkungan sekolah, siswa dapat belajar dari guru dan sesama temannya, maka di lingkungan luar sekolah juga demikian halnya.

Pemanfaatan lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar bisa dilakukan dengan cara: melakukan kerja sama dengan orang tua murid, membawa sumber dari luar ke dalam kelas, membawa siswa ke masyarakat, dan sebagainya.


Komponen Pelaksana dan pendukung kurikulum

1. Komponen pendidik

Dalam perspektif pendidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabby, mursyid,mudarris, dan mu’addib (Muhaimin, 2003: 209-213). Sebagai ustadz, ia dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya yaitu menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan. Sebagai mu’allim ia dituntut mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al hikmah atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang mendatangkan manfaat dan semaksimal mungkin menjauhi madlarat. Sebagai murabby, guru dituntut menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Guru sebagai mursyid dituntut menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlaq dan/atau kepribadiannya pada peserta didik, baik itu berupa etos ibadah, etos kerja, etos belajar, maupun dedikasinya, atau dalam pengertian yang lebih semple seorang guru harus merupakan “model” atau pusat anutan, teladan bagi peserta didik. Sementara sebagai mudarris guru bertugas mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan peserta didik sesuai bakat, minat, dan kemampuannya. Sebagai mu’addib, seorang guru memliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa yang akan datang.

Sedangkan dalam perspektif humanisme religius, secara konvensional guru paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 194).

Dilihat dari segi aktualisasinya, pendidikan merupakan proses interaksi antara guru (pendidik) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan profesional, sehingga guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai pendidik profesional akhir-akhir ini dipertanyakan eksistensinya, akibat munculnya serangkaian fenomenalulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap memasuki lapangan kerja (Abuddin Nata, 2003: 136).

Kalau fenomena tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan terkait dengan peranan guru sebagai pendidik profesional. Sehingga sejalan dengan hal tersebut terkait dengan masalah pendidik sebagai komponen kurikulum pendidikan, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: kode etik guru/pendidik, kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, placement, imbalan atas kesejahteraan, dan sebagainya.

2. Peserta didik

Banyak sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangu guru. Sedangkan dalam pendidikan Islam, ketika dihadapkan pada orang yang meguru kepada seorang guru, maka melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti patuh pada sang guru.

Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan komponen peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen) siswa baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke mana anak didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.

Kemudian yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta didik yang diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak kalah pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat, bakat, dan lainnya.

3. Komponen bimbingan dan konseling

Bimbingan dan penyuluhan adalah terjemahan dari bahasa Inggris guidance (bimbingan) dan counseling (penyuluhan). Bimbingan mengandung pengertian proses pemberianbantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu dapat memahami dirinya sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat (Natawidjaja, 1987: 7). Sedangkan konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada klien dalam memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara face to face atau yang sesuai dengan keadaan klien yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidupnya (Sukardi, 2003: 67).

Sedangkan bimbingan dan konseling dalam pendidikan Islam merupakan proses pengajaran dan pembelajaran psikososial yang berlaku dalam bentuk tatap muka antara konselor dengan peserta didik, dalam rangka antara lain memperkembangkan pengertian dan pemahaman pada diri siswa untuk mencapai kemajuan di sekolah. Pelaksanaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan akan efektif dan berhasil apabila dilaksanakan atau dilakukan oleh suatu tim kerja (team work). Kemudian tim kerja inilah kemudian yang akan menyusun program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan.

Program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling perlu disusun agar upaya kegiatan layanan bimbingan di sekolah benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, serta mengena pada sasarannya sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan (Sukardi, 2003: 7).

Selain itu dalam kegiatan bimbingan dan konseling perlu diperhatikan pula strategi pendekatannya, jenis program dan layanannya, proses layanan serta termasuk di dalamnya teknik bimbingan dan konselingnya.

Selain komponen tersebut sebagai bagian dari komponen pelaksana dan pendukung, masih ada komponen lain diantaranya: administrasi pendidikan (manajemen kelembagaannya, ketenagaannya, hubungan dengan orang tua dan masyarakat, ketatausahaan, serta manajemen informasi), sarana dan prasarana (buku teks, perpustakaan, laboratorium, perlengkapan sekolah, media pendidikan, serta gedung sekolah), dan biaya pendidikan (sumber biaya dan alokasinya, perencanaan penggunaan biaya, serta sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengawasannya) (Muhaimin, 2003: 186-187).

Komponen Usaha-Usaha Pengembangan

Usaha pengembangan yang dimaksudkan di sini adalah usaha pengembangan ketiga kelompok komponen kurikulum di atas dengan berbagai unsurnya dalam rangka memperbaiki bangunan sistem tersebut.

Realisasi dari adanya usaha pengembangan tersebut ditunjukkan dengan adanya evaluasi dan inovasi kurikulum; adanya penelitian terhadap efektifitas dan kualitas kurikulum yang sedang berjalan; adanya perencanaan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang; adanya seminar, diskusi, simposium, lokakarya, dsb.; adanya penerbitan-penerbitan; munculnya peranan dan partisipasi komite sekolah; dan terjalinnya keja sama dengan lembaga–lembaga lain baik yang berada di dalam maupun di luar negeri dalam rangka pengembangan kurikulum tersebut.

Masalah Filosofis Tujuan Pendidikan Nasional

PERKEMBANGAN diskusi publik dalam polemik tentang RUU Sisdiknas cenderung tereduksi pada masalah pendidikan agama, padahal persoalan yang jauh lebih besar dan mendasar terletak pada filosofi pendidikan yang menjadi roh sisdiknas.

Bila kita melihat dengan teliti, draf usulan Diknas maupun DPR mengenai Tujuan Pendidikan Nasional kiranya perlu evaluasi kritis mendalam, sebab rumusan dan konsep tujuan pendidikan nasional akan amat berpengaruh pada implementasi, dinamika, arah, dan pelaksanaan pendidikan. Ujung-ujungnya, mutu atau kualitas hasil pendidikan nasional. Karena itu, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk bisa bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya.

TUJUAN pendidikan nasional dalam RUU Sisdiknas terkesan kurang memiliki visi futuristik ke depan dan hanya berkutat pada kebutuhan dan tuntutan temporal zaman sekarang. Solusi atas masalah temporal yang tersirat pun tampak ironis karena lemahnya persepsi dan filosofi. Sebagai contoh, masalah "dekadensi moral bangsa" yang dijawab dengan "keimanan dan ketakwaan". Bukankah ini bagai pertanyaan "harga kambing berapa?" dijawab dengan "jantan". Jawaban konseptual yang logis dan to the point kiranya akan mengarah kepada pendidikan budi pekerti (moral/etika), kemandirian, kesadaran, dan kecerdasan.

Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dan dibahas, mengandung filosofi pendidikan yang sudah ketinggalan zaman guna menghadapi tantangan sekarang dan masa depan. Filosofi pendidikan yang ada pada Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas terkonsentrasi pada aktivitas guru, dosen atau pendidik. Filosofi pendidikan yang demikian akan menelikung kemampuan kreativitas peserta didik dan pedagoginya cenderung bersifat naratif dan indoktrinatif. Peserta didik ditempatkan seperti obyek penderita atau gudang yang menyimpan materi berdasar kurikulum yang diajarkan. Ruang kreativitas dan aktualisasi diri peserta didik amat kurang sehingga kreativitas peserta didik berkutat pada nyontek atau mengembangkan metode repetisi bahan-bahan.

Dalam pedagogi naratif dan indoktrinatif, pendidik lebih aktif dalam proses pendidikan sementara peserta didik lebih pasif dan membeo. Peserta didik diperlakukan sebagai pihak yang harus dikembangkan dan dicerdaskan. Pedagogi demikian mengandung filosofi pendidikan yang kurang membebaskan peserta didik dan bersimpangan dengan alam demokrasi, sebab peserta didik ditempatkan pada posisi yang amat lemah seperti pasien di hadapan dokter (bandingkan Henry A Giroux, 1996). Sementara pendidik ditempatkan pada posisi yang amat kuat seperti seorang dokter yang memberi obat dan harus ditelan pasien.

Filosofi pendidikan seperti itu tak memadai lagi, karena peserta didik tidak lagi sebagai sentra dalam proses pendidikan. Aktualisasi potensi dan bakat peserta didik menjadi terabaikan. Akibatnya, rasa percaya diri dan kemampuan berekspresi peserta didik kurang diberi ruang untuk berkembang. Padahal, keberhasilan pendidikan bukan terletak pada isi yang diberikan tetapi atmosfer dan proses interaksi, yang dalam pendidikan akan mempengaruhi kreativitas, kecerdasan, mutu dan kualitas yang dihasilkan.

Karena itu, atmosfer pendidikan, pola-pola pikir dan perilaku lebih dibangun melalui filosofi pendidikan yang menjadi jiwa meresapi iklim, suasana, mekanisme sistem, interaksi, dan proses pendidikan. 70 persen keberhasilan pendidikan lebih ditentukan oleh atmosfer pendidikan daripada isi yang diajarkan. Setelah lulus jenjang pendidikan tertentu, peserta didik sudah tidak ingat lagi akan materi yang diajarkan, tetapi pola pikir, metode, pola afeksi, rasa merasa, dan kreativitas yang tumbuh tetap melekat dan terintegrasikan. Dari sudut isi, peserta didik akan mengatakan "we learn anything about nothing" namun dari sudut keberhasilan pendidikan, peserta didik masih teringat akan pengalaman suasana di kelas, suasana interaksi pendidikan yang menumbuhkan sikap dasar, pola pikir, rasa merasa, pola mental, cara memandang, dan kesadaran akan realitas kehidupan.

Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas mengandung filosofi pendidikan sebagai educare, yang untuk zaman sekarang sudah kurang memadai dan sebaiknya disempurnakan atau dilengkapi. Sebab filosofi pendidikan educare lebih cenderung mau mengajar, melatih dan melengkapi peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan. Karena itu, filosofi pendidikan educare amat memberi penekanan pada materi yang diajarkan, disertai sistem penilaian yang baku dan kaku yang harus dilaksanakan. Proses pendidikan tahap tertentu dianggap selesai dengan hasil ujian dan selesainya pemberian materi.

Tujuan Pendidikan Nasional perlu dirumuskan kembali sehingga memuat secara implisit filosofi pendidikan sebagai educare. Educare berarti membimbing, menuntun, dan memimpin. Filosofi pendidikan sebagai educare ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus dikuasai. Proses pendidikan educare lebih merupakan aktivitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Di sini atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik. Filosofi pendidikan yang demikian ini belum terakomodasi oleh Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas; padahal filosofi pendidikan educare mengantar pada tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, kedewasaan dan kecerdasan peserta didik.

ATRIBUT praktis seperti "bertakwa", "berakhlak", "berbudi mulia", "sehat", "berilmu", "cakap", "warga negara yang demokratis" telah menjebak rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi terlalu teknis-praktis, parsial, dan temporal. Tujuan pendidikan nasional perlu dijiwai filosofi pendidikan yang menawarkan perennial values yang bersifat universal dan tak lekang oleh perubahan zaman.

Karena itu, suatu usulan rumusan komprehensif menyeluruh yang terbuka kiranya jauh lebih menguntungkan untuk menyiapkan generasi masa depan. Usulan rumusan tersebut adalah: Pendidikan Nasional bertujuan mendampingi dan mengantar peserta didik kepada kemandirian, kedewasaan, kecerdasan, agar menjadi manusia profesional (artinya memiliki keterampilan (skill), komitmen pada nilai-nilai dan semangat dasar pengabdian/pengorbanan) yang beriman dan bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat, nusa dan bangsa Indonesia.

Demikianlah rumusan Tujuan Pendidikan Nasional yang sederhana namun diharapkan dapat memberi ruang bagi muatan filosofi pendidikan dan visi futuristik dalam menyiapkan generasi mendatang yang andal, cerdas, mempunyai komitmen moral dan semangat pengabdian.

Kamis, 01 Januari 2009

MPK 4404 Filsafat Ilmu (2 sks/semester I)

PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN (Makalah yang dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu)
Pengantar
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam tugas makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.

Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?

A. Pengertian Ilmu, Filsafat, dan Filsafat Ilmu

I. Ilmu adalah suatu pengetahuan ilmiah yang memiliki syarat-syarat :
Dasar Pembenaran yang dapat dibuktikan dengan metode ilmiah dan teruji dengan cara kerja ilmiah
Sistematik, yaitu terdapatnya sistem yang tersusun dari mulai proses, metode, dan produk yang saling terkait.
Intersubyektif, yaitu terjamin keabsahan atau kebenarannya

Sifat ilmu yang penting:
Universal : berlaku umum, lintas ruang dan waktu yang berada di bumi ini
Communicable : dapat dikomunikasikan dan memberikan pengetahuan baru kepada orang lain
Progresif : adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan yang merupakan tuntutan modern

Ilmu dari sisi Keyakinan atau Agama Islam : Ilmu Allah meliputi segala sesuatu
Perumpamaan tidak terbatasnya ilmu Allah adalah, jika kita hendak menulisnya dengan pena dan tinta. Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi. Di sisi Allah kunci-kunci yang ghaib dia mengetahui segala yang tampak, segala sesuatu yang ghaib, dan yang nyata (jelas), segala yang tersembunyi dan yang nyata, segala yang dirahasiakan, dan yang dilahirkan oleh manusia, yang dahulu dan yang kemudian, yang masuk ke dalam bumi dan yang keluar dari dalam bumi, yang turun dari langit dan yang naik padanya.
Ilmu manusia berasal dari Allah dan sangat terbatas. Allah memberi ilmu kepada nabi Adam a.s. dan mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya dengan kalam. Ilmu manusia sangat sedikit dan terbatas. Yang diketahui oleh manusia karena kehendak Allah jua. Manusia dilahirkan tanpa ilmu/tidak mengetahui sesuatu pun, diberi-Nya pendengaran agar memperoleh ilmu dengan pengabaran, diberi-Nya penglihatan agar memperoleh ilmu dengan melihat kenyataan, dan diberinya hati/akal agar memperoleh ilmu dengan penalaran atau proses memahami.

Al-Qur’an Sumber ilmu pengetahuan. Al Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang mengeluarkan manusia dari kegelapan. Pelajarilah alam semesta ini, semua digelar dan dicipta agar dipelajari oleh manusia yang dianugrahi akal budi, namun hanya yang berakal atau yang menggunakan akalnyalah yang dapat menerima pelajaran dan ilmu tersebut.

Derajat dan keadaan orang yang tidak berilmu
Tanpa ilmu manusia sering dan suka berdusta terhadap yang lainnya, dengan maksud menyesatkan manusia. Dia akan mengikuti dan menuruti hawa nafsunya sendiri tanpa kendali. Wajib kita berpaling dari orang bodoh. Dosa akibat perbuatan yang tidak diketahui (karena kebodohan) akan diampuni asalkan mau bertobat dan memperbaiki dirinya.Keutamaan dan derajat orang yang berilmu. Orang berilmu akan takut kepada Allah, mengakui keesaan Allah, dan membenarkan sesuatu yang datang dari-Nya. Pahala yang besar bagi yang berilmu, dan Allah meninggikan derajatnya, (baik di sisi Allah maupun di hadapan manusia) di antaranya, sebagai tempat bertanya.

Kewajiban menuntut ilmu dan mengajarkannya.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban, mengajarkannya kepada orang lain hendaklah dengan jelas, dengan terang, dan janganlah menyembunyikan yang benar. Hendaklah mengajarkan sesuatu dengan penuh kebijaksanaan (penuh hikmah). Di sinilah mulianya tugas pendidik, karena ia mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmunya kepada anak didiknya dengan penuh hikmah dan keteladanan. Guru harus dapat membedakan ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.

II. Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan. Filsafat berasal dari kata bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua suku kata yaitu philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan.

Pengertian filsafat secara luas adalah :
1. Usaha spekulatif manusia yang sangat rasional, sistematik, konseptual untuk memperoleh pengetahuan selengkap mungkin berdasarkan kaidah ilmiah
2. Ikhtiar atau usaha untuk menentukan batas-batas pengetahuan secara koheren dan menyeluruh (”holistic dan comprehensive”)
3. Wacana tempat berlangsungnya penelusuran kristis terhadap berbagai pernyataan dan asumsi yang umumnya merupakan dasar suatu pengetahuan.
4. Dapat dipandang sebagai suatu tubuh pengetahuan yang memperlihatkan apa yang kita lihat dan katakan. Dia harus seiring dan sejalan dalam aplikasi dan penerapannya di lapangan.
Filsafat menjembati cara berfikir secara ontologis, epistemologi dan aksiologi
§ Ontologi : hakikat apa yang dikaji
§ Epistemologi : cara mendapatkan pengetahuan yang benar
§ Aksiologi : nilai kegunaan ilmu

Filsafat adalah pengetahuan yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan manusia secara kritis. Filsafat disebut juga ilmu pengetahuan yg mencari hakekat dari berbagai fenomena kehidupan manusia. Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan. Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu.
Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan berkembang. Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara intersuyektif).

III. Filsafat Ilmu :

Hampir semua penyakit dan ilmu dapat dipelajari oleh kita. Semua itu berangkat dari filsafat. Filsafat itu ibarat pondasi dalam sebuah bangunan. Filsafat (mencari kebenaran versi manusia) mulanya berasal dari data empiris. Filsafat ilmu adalah ikhtiar manusia untuk memahami pengetahuan agar menjadi bijaksana. Dengan filsafat ilmu keabsahan atau cara pandang harus bersifat ilmiah. Filsafat ilmu memperkenalkan knowledge dan science yang dapat ditransfer melalui proses pembelajaran atau pendidikan.

Filsafat ilmu adalah filsafat yang menelusuri dan menelidiki sedalam dan seluas mungkin segala sesuatu mengenai semua ilmu, terutama hakekatnya, tanpa melupakan metodenya. Kerapkali kita lihat ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit, karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan realitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang realitas? Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpikir”. Tapi kita para guru menganggapnya sebagai ”Makhluk Allah” yang berakal dan berbudi serta memiliki akhlak mulia. Untuk mencapai hal itu diperlukan ilmu yang bernama Ilmu Pendidikan.


B. Filsafat Ilmu dan Aplikasinya dalam Pendidikan

Aspek filsafat sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja dan mutu pendidikan di suatu negara, meskipun bukan satu-satunya determinan. Di samping kajian filsafat mengenai eksistensi ilmu pendidikan, perumusan dan kejelasan filsafat pendidikan itu sendiri akan menentukan kebijakan dasar pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan perkembangan pendidikan nasional.

Atas dasar itu ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif membahas berbagai aspek dan persoalan pendidikan teoritis/filosofis, pendidikan praktis, pendidikan disiplin ilmu, dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan strategis. Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan pragmatisme dalam dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu yang cenderung kurang berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat, tapi juga bersifat konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi kemajuan, dan semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.

Ilmu pendidikan, dengan demikian dianggap mengalami reduksi dan involusi. Salah satu akar persoalannya, ilmu pendidikan dianggap tidak didukung oleh body of knowledge yang relevan dengan masyarakat Indonesia, serta tidak dibangun atas dasar pengetahuan yang relevan dengan perkembangan jiwa dan fisik anak-anak Indonesia.

Pada sisi lain, falsafah yang mendasari ilmu pendidikan serta kebijakan dasar pendidikan secara umum, pada saat ini dihadapkan pada konteks masyarakat Indonesia yang sedang berubah, suatu masyaerakat reformasi transisional yang diharapkan menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, demokrasi, egaliter, menghargai kenyataan pluralitas masyarakat dan sumber daya, otonomi, dsbnya. Kenyataan ini merupakan tantangan baru di tengah “keringnya” ilmu pendidikan.

Tantangan semacam itu, tentu perlu disikapi oleh para pakar pendidikan dengan upaya menemukan dan merumuskan parameter yang bersifat menyeluruh, untuk membangun ilmu pendidikan sebagai ilmu yang multidimensi baik dari segi filsafat (epistemologis, aksiologis, dan ontologis), maupun secara ilmiah. Dari segi ini, yang diinginkan adalah ilmu pendidikan yang berakar dari konteks budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia, dan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus berubah. Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.

Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap.

Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I & me).
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.

Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal). Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita?
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10).

Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu : “Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.(Lihat pula UU Sisdiknas 2003).
Kiranya konsep pendidikan yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi.
Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut “Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas.
Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya.
C. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.
Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulah segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nilai dan norma dibawah 100%. Dalam bahasa Agama disebut ”Hablumminnnaas”
Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan. Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogik (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogik dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu. Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik (teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil.
Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :
Ø Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relation-ship)
Ø Pentingnya ilmu pendidikan mempergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
Ø Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator)
Ø Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
Ø Memikiki Tujun pendidikan yang jelas (educational aims and objectives)
Ø Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
Ø Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)
Ø Mengacu kepada Tujuan pendidikan nasional yaitu menjadikan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogik (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogik praktis yang menelaah ragam pendidikan di berbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupannya sehingga meliputi:
§ Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
§ Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)
§ Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
§ Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
§ Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.
§ Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogik dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogik tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya, dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakat dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan.
§ Itu sebabnya dalam pedagogik terdapat pembicaraan tentang faktor pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.
Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitar manusia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematik dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa dan lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogik teoritis sistematis juga terdapat cabang-cabang pedagogik praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupakan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).
a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogik yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :

Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang faktual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng menjadi inti dari batang tubuh pedagogik.
b. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogik
Ilmu pendidikan khususnya pedagogik dan androgogi tidak menggunakan metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbatas pada pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental diterapkan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.
Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secara kuantitatif. Sebaliknya pedagogik dan androgogi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu bantu dan atau filsafat umum.
Penulis Makalah Kelompok S2 Teknologi Pendidikan :
Wijaya Kusumah, Rosiman, Susun Suliharti, Yuyun Yunand, dan